Selasa, 21 Maret 2017

Senin, 22 Agustus 2016

IN MEMORIAM II


*
akhirnya aku pun terjaga
dari buai dongeng 
para filsuf dari abad ke-19 itu, pak.
bersandar pada sirap mahoni ini
kembali aku mengingatmu yang menyuruh
menutup kedua mataku.
kututupkan mata kemudian menyekanya.
di sana kulihat hitam, warna takjub,
seperti ketakjuban Christoper Colombus
ketika kali pertama menemukan amerika.
(hahaha.... di abad berikutnya terbukti,
ternyata bukan dia orang pertama yang
menemukan benua itu)
dalam warna non-artifisial pada gelap
di mataku, kutemui samar asteris
dan aku mulai mencoba mencari
adakah malaikat melintas di sana?
aku pun mulai ragu karena
mungkin memang demikian
kenyataan diciptakan. jika tidak,
bukankah tak akan pernah ada hal
yang bernama mukjizat di dunia ini?
*
pada motif urat daun jambu
engkau mengabarkan keajaiban elusif
yang detailnya menyangkal logika. sebab
kata orang, apa yang ajaib bukan hal wajib
untuk mewakili kenyataan, di mana
aku pun mulai menyimpulkan:
di kota ini, matahari bisa berarti kata kerja
dan malam hari berarti jeda untuk
tidur, ya, malam hari, waktu mistis
bagi para salik dan orang-orang suci.
mungkin bagi mereka,
siang kadang seperti pesulap;
di mana yang nampak justru adalah sesuatu
yang hendak dihilangkan.
(duh! kenapa aku merasa demikian?)
*
pada warna putih kembang randu
bisa jadi bukan berarti apa-apa. (ah,
aku jangan-jangan aku ini cuma Midas
yang bertelinga keledai. atau bisa jadi
aku adalah seekor sapi yang cuma bisa
melenguh ketika mencoba mencari
hijau rerumputan)
*
di sini, pada ruang persegi yang kongkrit ini, bapak,
setidaknya aku telah melihatmu, aku mendengarmu. tapi
sekali lagi aku coba mengerti semua itu tak pernah nyata.

akhirnya aku pun terjaga
dari buai dongeng
para filsuf dari abad ke-19 itu, pak.
Jember, 2016

Rabu, 25 Maret 2015

FUGA


                     
  Untuk Sybil Isabel Dorsett

Bukan hanya engkau Sybil,
aku pun berpikir, setiap penyair 
pasti pernah kehilangan dirinya.
Misalnya, pada saat mereka
memasuki dunia yang absurd
di mana jam terasa begitu
asing, aneh, bahkan luput.
Ketika ia menjadi pendongeng Aeosop.
Ketika ia menjadi si Penyair Neraka, Dante.
atau ketika ia menjelma burung
gagak, Edgar Allan Poe.
Mungkin mereka menyangka
pada daun cedar, birch, poplar, maple,
dan elm ada kalimat yang tersesat.
Ah! Sybil, bukankah penyair
selalu bicara dan
mengandaikan yang bukan-bukan?
Tapi benar, Sybil, dan aku percaya,
penyair akan selalu kehilangan dirinya.

Jember, Maret 2015


Rabu, 16 Oktober 2013

MARET



Di maret yang masih pucat
kusebut kembali namamu
sesuatu yang mungkin palsu

tentang apa yang datang lambat
lalu pergi dengan begitu cepat.

Di jeda alunan burdah
pada chorus lacrimosa
dan engkau bertahan

menihilkan sedih yang kata orang
sebuah sinonim dari kata Bahagia.

Lalu aku mencoba mendekat
menemui yang lebih liar dari
khayal lebih dalam daripada ingatan.

Dan kusebut kembali namamu
sesuatu yang mungkin tak palsu.



2013

Rabu, 01 Mei 2013

NARCISSUS


di atas perahu sesederhana ini
jika harus berkaca pada ombak
dan musnah oleh sayapmu
aku bersedia, Izrail kekasihku.

dalam aporia aku mencintaimu
sebab akulah lelaki itu dengan
kesempurnaan yang ambisius
yang larut dalam raut Firdaus.

pada alun beriak dan selalu labil ini
yang buruk bukan hanya air laut
atau pekat mori terhampar di langit
tapi juga halusinasi tentang maut

saat angin telah menjelma serimpi
seekor hiu hanya mampu pesimis
dan dari kejauhan kawanan paus
bersiap menghadapi hitam gerimis

tetapi tak sedikitpun aku takut,
kecuali pada tirus jarum arus
karena waktu selalu di luar waktu:
papan yang berkesan surealis itu.

dalam aporia aku mencintaimu
sebab akulah nacissus yang akan
sembunyi untuk mendustaimu
dalam labirin kabut simulakra.


Jember, 2013

Jumat, 08 Maret 2013

HOMO LUDENS

                                      : Sebuah Variasi


pada gelembung busa yang kautiup ke udara
kulihat semacam khayal tentang beribu dunia.

setengah curiga, akupun mulai bertanya:
“mungkinkah aku mengidap paranoia
atau memang mata ini terkena trakoma?”
lalu engkau mendekat dan berbisik kepadaku:

“di kota ini, sebenarnya kita telah mati
tetapi sekaligus dilahirkan kembali
berkali-kali, sampai tak ditemui garis ilusi.”

“mungkin manusia memang butuh tema
misalnya tentang karma yang tak lagi punya nama
ketika cemas tak lagi menemui batas

tapi bukankah kita telah menciptakan harapan
yang memang tak membutuhkan alasan
sebelum tiba-tiba kita merasa kehilangan?”

seseorang datang dan mulai bertanya:
“apakah nama lain dari kematian, tuan
saat maut enggan melepaskan sabitnya
bahkan membuangnya ke tengah laut?”

kau menjawab dengan nada yang gagap:
“manusia tak ada, Tuhan pun menunggu.
bahkan neraka pun mungkin akan mereda
ketika sorga mungkin jadi hal sederhana.

setelah itu hanya ada hening, hanya busa
yang perlahan mulai berpecahan di udara.


2013